Pulau termiskin di Perancis kering karena kekeringan dan kurangnya investasi | Kekeringan

Banyu Uwir

Pulau termiskin di Perancis kering karena kekeringan dan kurangnya investasi |  Kekeringan

Setetes demi setetes, air menjadi sumber daya yang semakin berharga di Mayotte, wilayah termiskin di Uni Eropa.

Keran mengalir hanya satu dari tiga hari di wilayah Prancis di lepas pantai timur Afrika ini, akibat kekeringan berkepanjangan yang diperparah oleh kurangnya investasi dan kesalahan pengelolaan selama bertahun-tahun.

Penyakit seperti kolera dan tipus kembali meningkat, dan tentara Prancis baru-baru ini melakukan intervensi untuk mendistribusikan air dan meredakan ketegangan mengenai pasokan.

Krisis ini merupakan peringatan bagi pemerintah Perancis mengenai tantangan dan biaya dalam mengelola perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia di wilayah-wilayah Perancis yang sangat jauh.

Racha Mousdikoudine, ibu dua anak berusia 38 tahun yang tinggal di Labattoir, mencuci piring dengan air kemasan, ketika dia bisa mendapatkannya. Ketika keran air mengalir, dia berkata, “Saya harus memilih antara mandi atau menjaga persediaan air.

“Kekurangan ini akan terjadi secara global dalam beberapa tahun ke depan. Ini adalah kesempatan bagi seluruh rakyat Perancis untuk berdiri dalam solidaritas dengan kami. Untuk bersama kami, mencari solusi dan memperjelas situasi yang terjadi di Mayotte,” kata Mousdikoudine. “Karena ini bisa terjadi di semua departemen di Perancis.”

Dia membantu mengoordinasikan gerakan protes yang disebut “Mayotte is Thirsty,” yang menuntut pertanggungjawaban atas dugaan penggelapan, kebocoran dan kurangnya investasi dalam pasokan air yang berkelanjutan.

Pada salah satu protes baru-baru ini, warga bernyanyi, berteriak, dan memukul-mukul botol plastik kosong saat mereka berjalan menuju perusahaan pengelolaan air Mayotte.

“Penting untuk terus berbicara dengan pihak berwenang, tapi kami tidak akan tinggal diam,” kata Mousdikoudine. “Jika kita tetap di rumah, para politisi akan tetap mengatakan bahwa masyarakatnya tangguh, bahwa kita bisa mengatasi situasi ini. Tapi kita tidak bisa melakukannya. Nyawa yang dipertaruhkan adalah kesehatan fisik dan mental kita, serta nyawa anak-anak kita.”